Jejak Sejarah Imigran Jawa di Suriname

Jejak Sejarah Imigran Jawa di Suriname - http://bundakata.blogspot.com

Bundakata - Republik Suriname (Surinam), merdeka tanggal 25 November 1975, dengan ibukota Paramaribo terletak dataran luas di antara Samudera Atlantik, Sungai Amazon, Rio Negro, Sungai Cassiquiare dan Sungai Orinoco yang disebut Guyana. Para ahli kartografi menyebutnya sebagai Guyana Karibania (Guyana yang berarti dataran luas yang dialiri oleh banyak sungai dan Karibania dari kata Caribs yaitu nama penduduk asli yang pertama kali mendiami dataran tersebut).

Guyana dalam cerita "El Dorado" digambarkan sebagai suatu wilayah yang kaya kandungan emas sehingga mendorong orang-orang Eropa untuk bersaing menguasainya.

Era Kolonialisme membuat daerah yang luasnya hampir sebesar Pulau Jawa ditambah Madura ini pecah menjadi tiga bagian yaitu Guyana Prancis di Timur, Suriname di Tengah dan Guyana di Barat.



Sejak 9 Agustus 1890 hingga 13 Desember 1939, banyak orang-orang Jawa yang dikirim pemerintah Kolonial Belanda ke daerah jajahannya, Suriname. Pada periode itu terdapat 32.965 orang Jawa yang di kirimnya untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja pada industri perkebunan yang banyak terdapat di Suriname, suatu negara koloni kecil di Amerika Selatan.

Pekerja Jawa itu pada tahun 1890-1914 di berangkatkan dalam kelompok kecil dari Jakarta (Batavia) dan Semarang untuk bekerja di ladang dan pabrik perkebunan tebu, kopi, cokelat dan lainnya. Hanya pada angkatan ke 77 pada tahun 1904 mereka dipekerjakan dalam pembuatan jalan kereta api.

Selama perang Perang Dunia I para imigran Jawa itu juga ada yang dipekerjakan di tambang bauksit di Moengo, Suriname. Mereka mendapat kontrak kerja selama lima tahun, tetapi kenyataannya sebagian besar dari mereka terpaksa bekerja seumur hidupnya.

Beberapa pekerja sudah dikembalikan ke kampung halaman masing-masing, tercatat hingga tahun 1954 ada sekitar 8.684 (26 persen)imigran yang sudah kembali ke daerah asalnya.

Ada Imigran Jawa yang memilih tetap tinggal dan menjadikan Suriname sebagai kampung halaman, dan ada sebagian lain yang memilih menjadi warga negara Belanda ketika Suriname menjelang merdeka (1965) karena ingin mendapatkan tunjangan sosial.

Kini keturunan imigran Jawa tidak bekerja lagi di perkebunan milik perusahaan Belanda seperti orang tuanya karena perusahaan perkebunan Belanda sudah tutup atau bangkrut. Sebagian sudah beralih profesi menjadi pedagang dan bisa meraih sukses, seperti yang dialami Wilem Sugiono.

Tetapi, ada banyak pula bekas imigran dan keturunannya yang masih tetap berladang di tanah seluas 1,25 hektar dengan beragam tanaman.

Pemerintah Indonesia sudah membuka Kedubes RI di ibukota Suriname, Paramaribo, sejak tahun 1980 karena ada warga Jawa dan keturunannya yang kini berjumlah 74.760 (17,8%) dari 481.146 penduduk Suriname.



Para imigran Jawa di Suriname dan keturunannya sering merindukan budaya Jawa dan mendesak agar pemerintah Indonesia bisa megirimkan Guru Bahasa Jawa, Dalang, dan pengajar tari untuk mereka. Selain itu juga menginginkan pengiriman guru pencak silat karena bagi warga keturunan Jawa di Suriname, Indonesia adalah saudara dan Negara leluhurnya. Yah, Suriname adalah “saudara” bagi orang Indonesia, meski berlainan kewarganegaraan.



Ranomi Kromowidjojo, atlet renang dari negara Belanda, adalah putri dari Kromowidjojo yang asli Suriname dan selalu menyebutkan nama Indonesia sebagai asal usul dirinya, seperti yang dilansir oleh dailymail. Wanita cantik ini, selalu menyebutkan bahwa kakek nenek nya adalah asli Indonesia.

0 Response to "Jejak Sejarah Imigran Jawa di Suriname"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.